Senin, 06 Februari 2012

Warok, Hidup Tanpa Pamrih, Mati Masuk Sorga


 

Dalam tradisi Jawa Mataraman, Warok menjadi fenomenal. Warok berasal dari kata wewarah atau petunjuk sehingga dianggap mampu memberi petunjuk dan pengajaran kepada orang lain mengenai hidup. Namun ada sisi lain dari warok yakni sisi kehidupan homoseksual yang bisa dilacak dalam relasinya dengan gemblak.

“Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin yang dalam. Karena itu warok memiliki tekad suci, berjuang demi kebenaran dan tanpa pamrih,” kata Kasni Gunopati atau yang dikenal sebagai Mbah Wo (tuwo, tua) Kucing, salah satu warok dari Ponorogo yang bisa menjabarkan falsafah warok.

Maka seorang warok biasanya mengasah ketajaman batinnya dengan laku spiritualnya sehingga mencapai kesempuranaan dalam laku hidupnya. Stereo type seorang warok biasanya digambarkan dengan pakaian serba hitam, memakai tali sakti yang disebut kolor serta memiliki gemblak (pemuda rupawan berumur antara 10 hingga 17 tahun).

Seorang warok sampai bersumpah tidak mau berhubungan badan dengan isterinya sendiri, dan hanya berasyik masuk atau bersedap-sedap dengan para gemblak yang dipiaranya. Gemblak umumnya diangkat dari keluarga-keluarga miskin di pedesaan Ponorogo. Para gemblak sapatutya memiliki raut muka, perawakan dan kulit yang bagus.

Orangtua calon gemblak tak kuasa menolak orang yang dianggap kaya wewarah (petunjuk) hidup bagi anaknya yang imut-imut. Sebidang tanah akan menjadi jaminan bagi orang tua calon gemblak, atau dua ekor sapi dewasa, untuk mengikat si gemblak selama tiga tahun.

Setelah diboyong ke rumah warok, si gemblak diajari tata cara hidup yang bermartabat. Mulai dari cara berpakaian, makan, memakai wewangian, merokok dan bertutur kata yang penuh sopan santun. Gemblak yang cakep pasti menaikkan gengsi sang warok. Karena itu gemblak sering dibawa ke mana pun sang warok pergi, menjadi semacam sekpri (sekretaris pribadi) yang bening.

Manakala malam tiba, sang warok membiarkan isterinya tidur di kamar belakang. Ia memanjakan gemblak atau para gemblak, yang kata mereka, hanya dipeluk-peluk dan dicipika cipiki. Seorang warok mengaku hanya menitipkan ‘perkakas’-nya di antara dua paha si gemblak, namun tak sampai melakukan penetrasi ke bahagian “wuri”, alias belakang.

Tapi itulah pengakuan para warok. Sedangkan gemblaknya tak kuasa menjerit, mengingat dirinya telah tergadai demi sebidang sawah atau dua ekor lembu. Cerita warok dan gemblak ini tercermin dalam kesenian Singo Barong yang merupakan sindirian terhadap raja Brawijaya V dari Majapahit yang takut dengan isterinya. Singa melambangkan raja yang berkuasa tapi dimahkotai oleh burung merak sebagai lambang kekuasaan isterinya.

Kesenian ini kemudian namanya diubah menjadi reog, yang diambil dari kata Arab riyoqun. Artinya, meskipun hidup seorang warok bergelimang dosa, tapi bila bisa kembali ke jalan Allah, sorga jaminannya.
Kesimpulannya, warok zaman dulu sesunguhnya bukan hidup tanpa pamrih. Pamrihnya sangat jelas, bisa dapat tiket masuk sorga. Enak juga. Sekarang berfoya-foya, kermudian insyaf dan kembali ke jalan Tuhan, kelak kalau mati dijamin masuk sorga.

Apakah sisa-sisa warok zaman dulu masih ada di masa kini. Sekarang, para warok kini menjelma menjadi om-om sekong yang suka menggoda brondong alias brownies itu.


 http://gayahidup.inilah.com/read/detail/1825090/warok-hidup-tanpa-pamrih-mati-masuk-sorga

Tidak ada komentar:

Trade traffic with me using 2leep.com system